Followers

SALAM SILATURAHIM

JUMLAH TAMU

JADWAL SHOLAT

Syafa’atmu

Diposting oleh Tim Embun Tarbiyah Senin, April 06, 2009

Ya Rasululloh... Kami Nantikan
Di Suatu Masa Hari Pembalasan




Hari itu pada Haji Wada’, sebuah ayat turun, “…pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu…” (QS. Al-Maidah: 3)

Para sahabat bergembira, mereka bersorak “Agama kita telah sempurna, agama kita telah sempurna”. Kegembiraan yang memuncaki 23 tahun perjuangan dengan segenap suka dan duka.

Di tengah kerumunan manusia pada hari Haji itu, seorang sahabat mulia justru bersedih. Abu Bakar As-Siddiq, perasaan yang halus, dan dengan segenap keistimewaan yang ia miliki, ia menangis. Ia memahami di balik kesempurnaan pasti ada kesudahan. Ia menyadari, tak lama lagi Sang Rasul yang di cintai akan meninggalkan dunia, meninggalkan para sahabat, kembali ke haribaan Alloh Subhanahu wata'ala.

Tangis sedih Abu Bakar di dengar para sahabat. Setelah Abu Bakar menjelaskan mengapa ia menangis, para sahabat pun menangis. Berapa menyedihkan, Sang Kekasih tercinta, bertahun-tahun hidup dan berjuang bersama, segenap kesulitan dan kemudahan dilalui dalam persaudaraan yang tak ada duanya, tidak lama lagi akan tiada, meniggalkan dunia yang fana.

Mengetahui para sahabat menangis, Rasululloh bergegas mendatangi mereka. Di depan para sahabat Rasululloh Sallallohu 'alaihi wassalam berkata: ”Semua yang dikatakan Abu Bakar RadiAllohu Anhu adalah benar dan sesungguhnya masa untuk aku meninggalkan kamu semua telah hampir dekat”.

Mendengar perkataan Sang Rasul, Abu Bakar kembali menangis hingga kemudian tak sadarkan diri, tubuh Ali bin Abi Thalib bergetar, dan sahabat lainnya menangis sekuat yang mereka bisa.

****

Beberapa masa kemudian Rasululloh sakit. Kota Madinah berada dalam suasana kesedihan. Di suatu Subuh, setelah adzan, Bilal bin Rabah radiallohuanhu bergegas menuju kediaman Rasululloh, disana Fatimah radiallohuanha menyambut Bilal dan berkata, ”Jangan kau ganggu Rasululloh, kondisinya sedang payah”. Bilal kembali ke masjid, di sana masih tak ada yang sanggup menggantikan Sang Rasul menjadi Imam shalat Subuh.

Semua yang hadir di masjid diselimuti kesedihan. Kali kedua, Bilal kembali mendatangi kediaman Nabi, dan Fatimah kembali mencegah Bilal bertemu Nabi karena kondisi Nabi sedang buruk. Bilal menjawab, ”Subuh hampir tiada, tak ada yang dapat memimpin shalat”.

Dari dalam kamar Rasululloh mendengar percakapan tersebut dan memerintahkan agar Abu Bakar menjadi Imam shalat Subuh. ”Abu Bakar terus menangis” seru Bilal. Rasululloh pun bergegas ke masjid dipapah oleh para sahabat.

Mesjid penuh sesak oleh kaum Muhajirin beserta Anshar. Ada sosok cinta di sana, kekasih yang baru saja terbangun dari sakitnya yang membuat semua sahabat tak melewatkan kesempatan ini.

Setelah mengimami shalat, nabi berdiri dengan anggun di atas mimbar. Suaranya basah, menyenandung puji dan kesyukuran kepada Alloh yang maha pengasih.

Senyap segera saja datang, mulut para sahabat tertutup rapat, semua menajamkan pendengaran menuntaskan kerinduan pada suara sang Nabi yang baru berada lagi. Semua menyiapkan hati, untuk disentuh serangkai hikmah.

Selanjutnya Nabi bertanya. ”Wahai sahabat, kalian tahu umurku tak akan lagi panjang, siapkah diantara kalian yang pernah merasa teraniaya oleh si lemah ini, bangkitlah sekarang untuk mengambil qisash, jangan kau tunggu hingga kiamat menjelang, karena sekarang itu lebih baik”.

Semua yang hadir terdiam, semua mata menatap lekat Nabi yang terlihat lemah. Tak akan pernah ada dalam benak mereka perilaku Nabi yang terlihat janggal. Apapun yang dilakukan Nabi, selalu saja indah. Segala hal yang diperintahkannya, selalu membuihkan bening sari pati cinta. Tak akan rela sampai kapanpun, ada yang menyentuhnya meski saja secuil jari kaki. Apapun akan digadaikan untuk membela Al-Musthafa.

Melihat semua yang terdiam, nabi mengulangi lagi ucapannya, kali ini suaranya terdengar lebih keras. Masih saja para sahabat duduk tenang. Hingga ucapan yang ketiga kali, seorang laki-laki berdiri menuju Nabi. Dialah Ukasyah Ibnu Muhsin.

Ya Rasul Alloh, Dulu Aku pernah bersamamu di perang Badar. Untaku dan untamu berdampingan, dan aku pun menghampirimu agar dapat menciummu, wahai kekasih Alloh, Saat itu engkau melecutkan cambuk kepada untamu agar dapat berjalan lebih cepat, namun sesunguhnya engkau memukul lambung sampingku ucap Ukasyah.

Mendengar ini Nabi pun menyuruh Bilal mengambil cambuk di rumah putri kesayangannya, Fatimah. Tampak keengganan menggelayuti Bilal, langkahnya terayun begitu berat, ingin sekali ia menolak perintah tersebut. Ia tidak ingin, cambuk yang dibawanya melecut tubuh sang kekasih.

Namun ia juga tidak mau mengecewakan Rasululloh. Segera setelah sampai, cambuk diserahkannya kepada Rasul mulia. Dengan cepat cambuk berpindah ke tangan Ukasyah. Masjid seketika mendengung seperti sarang lebah.

Sekonyong-konyong melompatlah dua sosok dari barisan terdepan, melesat maju. Yang pertama berwajah sendu, janggutnya basah oleh air mata yang menderas sejak dari tadi, dialah Abu Bakar.

Dan yang kedua, sosok pemberani, yang ditakuti para musuhnya di medan pertempuran, Umar bin Khaththab. Gemetar mereka berkata: Hai Ukasyah, pukulah kami berdua, sesuka yang kau dera. Pilihlah bagian manapun yang paling kau ingin, qisashlah kami, jangan sekali-kali engkau pukul Rasul.

”Duduklah kalian sahabatku, Alloh telah mengetahui kedudukan kalian”, Nabi memberi perintah secara tegas. Kedua sahabat itu lunglai, langkahnya surut menuju tempat semula. Mereka pandangi sosok Ukasyah dengan pandangan memohon. Ukasyah tidak bergeming.

Melihat Umar dan Abu Bakar duduk kembali, Ali bin Abi Thalib tak tinggal diam. Berdirilah ia di depan Ukasyah dengan berani. Hai hamba Alloh, inilah aku yang masih hidup siap menggantikan qisash Rasul, inilah punggungku, ayunkan tanganmu sebanyak apapun, deralah aku.

”Alloh Subhanahu wata'ala sesungguhnya tahu kedudukan dan niatmu wahai Ali, duduklah kembali”. Ucap Nabi.

Hai Ukasyah, engkau tahu, aku ini kakak-beradik, kami adalah cucu Rasululloh, kami darah dagingnya, bukankah ketika engkau mencambuk kami, itu artinya mengqisash Rasul juga.

Kini yang tampil di depan Ukasyah adalah Hasan dan Husain. Tetapi sama seperti sebelumnya Nabi menegur mereka. ”Wahai penyejuk mata, aku tahu kecintaan kalian kepadaku. Duduklah”.

Masjid kembali di telan senyap. Banyak jantung yang berdegup kian cepat. Tak terhitung yang menahan nafas. Ukasyah tetap tegap menghadap Nabi. Kini tak ada lagi yang berdiri ingin menghalangi Ukasyah mengambi qisash. Wahai Ukasyah, jika kau tetap berhasrat mengambil qisash, inilah ragaku, Nabi selangkah maju mendekatinya.

”Ya Rasul Alloh, saat Engkau mencambukku, tak ada sehelai kainpun yang menghalangi lecutan cambuk itu”.

Tanpa berbicara, Nabi langsung melepaskan gamisnya yang telah memudar. Dan tersingkaplah tubuh suci Rasululloh. Seketika pekik takbir menggema, semua yang hadir menangis pedih.

Melihat tegap badan manusia yang maksum itu, Ukasyah langsung menanggalkan cambuk dan berhambur ke tubuh Nabi. Sepenuh cinta di rengkuhnya Nabi, sepuas keinginannya ia ciumi punggung Nabi begitu mesra. Gumpalan kerinduan yang mengkristal kepada beliau, dia tumpahkan saat itu. Ukasyah menangis gembira, Ukasyah bertasbih memuji Alloh, Ukasyah berteriak haru, gemetar bibirnya berucap sendu, tebusanmu, jiwaku ya Rasul Alloh, siapakah yang sampai hati mengqisash manusia indah sepertimu. Aku hanya berharap tubuhku melekat dengan tubuhmu hingga Alloh dengan keistimewaan ini menjagaku dari sentuhan api neraka.

Dengan tersenyum, Nabi berkata: ”Ketahuilah wahai manusia, sesiapa yang ingin melihat penduduk surga, maka lihatlah pribadi lelaki ini”.

Ukasyah langsung tersungkur dan bersujud memuji Alloh. Sedangkan yang lain berebut mencium Ukasyah. Pekikan takbir menggema kembali.

Wahai, Ukasyah berbahagialah engkau telah dijamin Nabi sedemikian pasti, bergembiralah engkau, karena kelak engkau menjadi salah satu yang menemani Rasul di surga. Itulah yang kemudian dihembuskan semilir angin ke seluruh penjuru Madinah.


0 komentar

Posting Komentar

Banner 250 x 200

About Me

Foto saya
Menyusuri Kehidupan Duniawi Ini… Terselip Satu Perjuangan Seorang Hamba… Menuju Ketenangan Yang Hakiki… Munajat Diri Mengejar Maghfirah… Mujahadah Dalam Mencari Keridhaan-Nya…

Labels

PESAN MORAL