Followers

SALAM SILATURAHIM

JUMLAH TAMU

JADWAL SHOLAT

Orang Mulia Itu Keturunan Budak

Diposting oleh Tim Embun Tarbiyah Senin, April 04, 2011 0 komentar




Hasan al-Basri menjadi imam, kota Basrah merupakan benteng Islam yang terbesar dalam bidang ilmu pengetahuan. Masjidnya yang agung dipenuhi oleh para Shahabat dan Tabi'in yang hijrah ke kota itu. Halaqah-halaqah keilmuan dengan beraneka ragam yang memakmurkan masjid-masjid. Hasan al-Basri menekuni halaqah Abdullah bin Abbas. Dia mengambil pelajaran tafsir, hadits, qira'ah, fiqh, adab dan bahasa.

Ketika Hasan al-Basri sudah menjadi ulama, banyak umat yang menggali ilmunya, mendatangi majelisnya serta mendengarkan ceramahnya, yang mampu melunakkan jiwa-jiwa yang keras, dan sampai mencucurkan air mata bagi orang-orang yang berbuat dosa. Banyak orang yang terpikat dengan hikmahnya yang mempesona.

Ketika Hajja bin Yusuf At-Tsaqafi berkuasa di Irak, dan bertindak sewenang-wenang dan kejam, Hasan al-Basri adalah termasuk dalam bilangan sedikit orang berani menentang dan mengecam keras akan kezhaliman pengausa itu secara terang-terangan. Saat itu, justru sebagain besar para ulama takut dengan Hajjaj, yang sangat kejam dan berindak dengan keras, terhadap siapa saja yang berani mengkritiknya.

Suatu ketika, Hajjaj membangun istana yang megah untuk dirinya di kota Wasit. Ketika pembangunan selesai diundangnya orang-orang untuk melihat dan mendo'akannya.

Hasan al-Basri tak mau menyia-nyiakannya kesempatan yang ada, di mana pasti saat itu pasti banyak orang yang datang dan berkumpul di istana Hajjaj. Maka, Hasan al-Basri tampil dan memberikan ceramah, mengingatkan mereka agar bersikap zuhud di dunia dan menganjurkan manusia untuk mengejar kemuliaan di sisi Allah. Bukanlah kenikmatan dunia yang tidak seberapa dibandingkan dengan kenikmatan yang akan diberikan oleh Allah di akhirat nanti.

Saat tiba di istana, Hasan al-Basri, melihat begitu banyak orang mengelilngi istana yang megah dan indah dengan halamannya yang sangat lua. Beliau berdiri dan berkhutbah. Diantara isi khutbahnya itu, Hasan al-Basri menyatakan : "Kita mengetahui apa yang dibangun oleh oleh manusia yang paling kejam dan kita dapati Fir'aun yang membangun istana yagn lebih besar dan lebih megah daripada bangunan ini. Namun, Allah membinasakan Fir'aun beserta apa yang dibangunnya. Andai saja Hajjaj sadar bahwa penghuni langit telah membecinya dan penduduk bumi telah memperdayakannya ..."

Hasan al-Basri tidak berhenti mengkritik Hajjaj, dan terus melanjutkannya: "Wahai saudaraku, Allah Ta'ala telah megnambil sumpah dari ulama agar menyampaikan kebenaran kepada manusia, dan tidak boleh menyembunyikannya", tambahnya.

Keesokannya harinya, Hajjaj dengan penuh amarah, menghadiri pertemuan bersama para pejabatnya, dan berkata keras : "Celakalah kalian! Seorang dari budak-budak Basrah itu memaki-maki kita dengan seenaknya dan tak seorangpun dari kalian berani mencegah dan menjawabnya. Demi Allah, akan kuminumkan darahnya kepada kalian wahai para pengecut", ungkapnya.

Lalu, Hajjaj memerintah para pengawalnya untuk menyiapkan pedang beserta algojonya dan menyuruh polisi untuk menangkap Hasan al-Basri. Saat Hasan al-Basri sudah dibawa, semua mata memandang kepadanya, dan mulai hati berdebar. Menunggu nasib yang akan dialami oleh Hasan al-Basri. Begitu Hasan al-Basri melihat algojo yang sudah menghunus pedangnya dekat tempat hukuman mati, beliau menggerakkan bibirnya membaca seseuatu. Kemudian beliau berjalan mendekati Hajjaj dengan ketabahan seorang mukmin, kewibawaan sesorang muslim dan kehormatan seorang da'I di jalan Allah.

Demi melihatketegaran yang demikian hebat, mental Hajjaj runtuh. Padahal, sudah masyhur di seluruh Irak tentang kekejaman Hajjaj. Terpengaruh wibawa dan sikap Hasan al-Basri, dan Hajjaj berkata begitu ramah dengan ulama itu, "Silakan duduk di sini wahai Abu Sa'id, silakan ..", ucap Hajjaj.

Seluruh yang hadir menjadi terbelalak matanya. Melihat perilaku Amirnya (Hajjaj) mempersilahkan Hasan al-Basri duduk di kursinya dengan penuh wibawa. Hajjaj menoleh kearah al-Basri dan menanyakan berbagai masalah agama, dan dijawab oleh Hasan al-Basri dengan jawaban-jawaban yang menarik.

Saat merasa pertemuan itu sudah cukup, dan Hajjaj sudah merasa cukup pertanyaan-pertanyaan agama sudah dijawab oleh Hasan al-Basri, lalu Hajjaj mengantarkan Hasan al-Basri sampai ke depan pintu istana, seraya berkata : "Wahai Abu Sa'id, Anda benar-benar tokoh ulama yang hebat", kata Hajjaj. Kemudian, Hajjaj menyemprotkan minyak ke jenggot al-Basri sambil memeluknya.

Pengawal yang mengantarkan Hasan al-Basri sampai ke pintu gerbang itu, bertanya mengapa Hajjaj tidak sampai membunuhya, padahal dia sudah mempersiapkan algojo? "Ketika apa yang anda baca,wahai Sheikh?", tanya sang pengawal itu. Beliau menjawab, "Ketika itu aku berdo'a, "Wahai Yang Maha Melindungi dan tempatku dalam kesulitan, jadikanlah amarahnya menjadi dingin dan menjadi keselamatan bagiku sebagaimana Engkau jadikan api menjadi dingin dan kesalamatan bagi Ibrahim", pintanya.

Begitulah Hasan al-Basri yang berani menesahati penguasa yang sombong, kejam, dan sangat sewenang-wenang, saat penguasa itu hidup bergelimangan dengan kemewahan, dan ada tanpa takut sedikitpun atas keselamatan jiwanya. Padahal, Hasan al-Basri, tak lain anak seorang budak Rasulullah Shallahu alaihi wa sallam, yang bernama Khairah, yang dinikahi oleh Yasaar budak dari Zaid bin Tsabit.

Sekalipun budak, di dalam Islam, tetap melahirkan keturunan yang mulia, ulama yang amat disegani dikalangan ulama di Basrah, bahkan, yang paling masyhur, kisah Umar bin Abdul Aziz, yang tak lain, juga keturunan seorang budak. Inilah keistimewaan dalam Islam.

Orang-orang yang mulia dapat lahir dari para budak, yang menjadi pembela Islam, dan menegakkan Islam, tidak kemudian nasib mereka menjadi orang-orang yang disisihkan dalam kehidupan nyata. Wallahu'alam.

Read More......

Keagungan Isteri Seorang Mujahid

Diposting oleh Tim Embun Tarbiyah Sabtu, April 02, 2011 0 komentar


Lelaki berumur enam puluh tahun itu memasuki rumahnya di Madinah. Nyaris tak mengenali lagi rumah yang pernah ditinggalinya itu. Ia menemukan rumah itu, saat menyusuri jalan-jalan di kota Madinah, yang sudah ramai.

Rumahnya yang sangat sederhana itu, pintunya agak terbuka, dan nampak lengang. Lelaki itu meninggalkan rumahnya, tiga puluh tahun lalu, dan waktu itu isterinya masih belia, dan menjelang melahirkan anak pertamanya.

Lelaki tua itu meninggalkan Medinah pergi berjihad ke negeri yang sangat jauh. Ia berangkat bersama pasukan muslimin. Membuka Bukhara dan Samarkand, dan sekitarnya, yang terletak di Asia Tengah. Begitu jauh perjalanan jihad bersama pasukan muslimin, mengarungi samudera padang pasir, menembus perjalanan beribu-ribu mil dari kota Madinah. Sungguh sangat luar biasa para mujahidin itu. Kepergiannya dengan tekad dan tawakal kepada Allah Azza wa Jalla.

Menjelang Isya’ dengan kuda yang dituganginya itu, prajurit tua itu, memasuki kota Madinah, yang masih ramai, dan melihat kehidupan yang tidak berubah, sesudah ditinggalkannya selama tiga puluh tahun. Namun, ingatannya yang tajam, akhirnya lelaki tua itu, menemukan rumahnya kembali, yang masih tampak sederhana, dan didapati pintunya sedikit terbuka. Kegembiraan menggelayut, dan merasa yakin bertemu dengan kembali dengan isterinya yang lama ditinggalkan itu.

Si penghuni rumah melihat ada orang yang masuk rumahnya, maka lelaki yang ada di atas, langsung melompat, dan turun sambil membentak lelaki tua yang datang itu, “Engkau berani memasuki rumah dan menodai kehormatanku malam-malam, wahai musuh Allah?”. Si penghuni rumah mencengkeram leher lelaki tua, seraya mengatakan, “Wahai musuh Allah, demi Allah aku takkan melepaskanmu kecuali di muka hakim”, sergahnya.

Lelaki tua yang baru datang itu berkata, “Aku bukan musuh Allah dan bukan pernjahat. Ini rumah milikku, kudapati pintunya terbuka lalu aku masuk”. Lelaki tua itu melanjutkan, “Wahai saudara-saudara, dengarkanlah. Rumah ini milikku, kubeli dengan uangku. Wahai kaum, aku adalah Farrukh. Tiadakah seorang tetangga yang masih mengenali Farrukh yang tiga puluh tahun lalu pergi berjihad fi sabilillah?”

Bersamaan itu, ibu si empunya rumah yang sedang tidur itu bangun oleh keributan, lalu menengok dari jendela atas dan melihat suaminya sedang bergulat dengan darah dagingnya sendiri. Lidahnya nyaris tak berucap. Dengan nada yang kuat berseru, “Lepaskan .. lepaskan dia, Rabiah … lepaskan dia, putraku, dia adalah ayahmu .. dia ayahmu … Saudara-saudara sekalian tinggalkan mereka, semoga Allah memberkahi kalian. Tenanglah, Abu Abdirrahman, dia putramu .. dua putramu .. jantung hatimu …

Lalu, Ar-Rabi’ah mencium tangan ayahnya. Orang-orang meninggalkan keduanya. Setelah itu, isterinya Ummu Rabi’ah menyambut suaminya dan memberi salam. Ummu Rabi’ah tak mengira bahwa ia akan bertemu kembali dengan suaminya yang pergi berjihad selama tiga puluh tahun itu.

Saat-saat bahagia antara Farrukh dengan Ummu Rabi’ah, terkadang duduk berdua, sambil bercerita keduanya selama berpisah tiga puluh tahun. Mereka mendapatkan kebahagiaan kembali, keduanya dapat bertemu, meskipun sekarang suaminya telah berumur enam puluh tahun. Namun, saat itu muncul kekawatiran dari Ummu Rabi’ah tentang uang yang pernah dititipkan oleh suaminya dahulu, dan ia harus menjaganya. Karena uang yang dititipkan suaminya itu, habis untuk membiayai pedidikan putranya senilai 30.000 dinar. “Percayakah Farrukh bahwa pendidikan putranya itu menghabiskan 30.000 dinar”, gumam Ummu Rabi’ah.

Selagi pikirannya mengelayut itu, tiba-tiba Farrukh, yang duduk disampingnya itu berkata, “Aku membawa uang 4.000 dinar. Ambillah uang yang akut titipkan kepadamu dahulu. Kita kumpulkan lalu kita belikan kebun atau rumah, dan akan kita ambil sewanya”, ucap Farrukh kepada Ummu Rabi’ah.

Pembicaraan terputus saat adzan datang. Farrukh bergegas menuju masjid, seraya menanyakan, “Mana Ar-Rabi’ah?’ Isterinya menjawab, “Dia sudah lebih dahulu berangkat ke masjid. Saya kira engkau akan tertinggal shalat berjama’ah”. Dia segera shalat, dan sesudah itu pergi ke Rhaudah mutharah, berdo’a di dekat makam Rasulullah, karena betapa rindunya dia dengan Rasulullah.

Saat mau meninggalkan masjid, begitu ramai orang yang sedang mengelilingi seorang ulama, yang belum pernah melihat sebelumnya. Mereka duduk melingkari Sheik itu. Sampai tak ada tempat yang kosong untuk dapat berjalan. Farrukh mengamati, ternyata orang-orang yang hadir, ada yang sudah lanjut usia, anak-anak muda, mereka semua duduk sambil menghamparkan lututnya. Semuanya menghadapkan pandangan kepada Sheikh.

Farrukh itu berusaha melihat wajah Sheikh yang luar biasa itu, tetapi tak dapat, karena begitu banyaknya orang yang mengelilinginya. Sampai saat majelis itu usai. Orang-orang meninggalkan masjid. Kemudian di tengah-tengah suasana yang sudah mulai sepi itu Farrukh bertanya kepada salah seorang yang masih tinggal di masjid itu.

Farrukh: “Siapakah Sheikh yang baru saja berceramah itu?”

Fulan: “Apakah anda bukan penduduk Madinah?”

Farrukh: “Saya penduduk Madinah”.

Fulan: “Masih adakah di Madinah ini orang yang tak mengenal Sheikh yang memberikan ceramah itu?”

Farrukh: “Maaf, saya benar-benar tidak tahu, karena saya sudah meninggalkan kota ini sejak 30 tahun yang lalu, dan baru kemarin tiba”

Fulan: “Tidak apa. Duduklah sejenak, saya akan menjelaskannya. Sheikh yang anda dengarkan ceramahnya itu adalah seorang tokoh tabi’in. Termasuk diantara ulama yang paling terpandang, dialah ahli hadist di Madinah, fuqaha dan imam kami, meksipun masih sangat muda”. Majelisnya dihadiri oleh Malik bin Anas, Abu Hanifah, An-Nu’man, Yahya bin Sa’id Al-Anshari, Sufyan Tsauri, Abdurrahman bin Amru Al-Auza’I, Laits bin Sa’id dan lainnya”.

Farrukh: “Tetapi anda belum menyebutkan namanya?”

Fulan: “Namanya adalah Ar-Rabi’ah Ar-Ra’yi”.

Farrukh: “Namanya Ar-Rabi’ah Ar-Ra’yi?”

Fulan: “Nama aslinya Ar-Rabi’ah, tetapi para ulama dan pemuka Madinah biasa memanggilnya Ar-Rabi’ah Ar-Ra’yi. Karena setiap menjumpai kesulitan tentang nash dari Kitabullah yang tidak jelas, mereka selalu bertanya kepadanya”.

Farrukh: “Anda belum menyebutkan nasabnya?”

Fulan: “Dia adalah Ar-Rabi’ah putra Farrukh yang memiliki kunyah (julukan) Abu Abdurrahman. Tak lama dilahirkan setelah ayahnya meninggalkan Madinah sebagai mujahid fi sabilillah, lalu ibunya memelihara dan mendidiknya. Tetapi sebelum shalat tadi orang-orang ramai mengatakan ayahnya telah datang kemarin malam.”

Tiba-tiba meleleh air mata Farrukh, tanpa lawan bicaranya mengerti mengapa Farrukh melelehkan air matanya.

Sesampai di rumah isterinya Ummu Rabi’ah melihat suaminya meneteskan air matanya, dan bertanya kepada suaminya, Farrukh : “Ada apa wahai Abu Abdirrahman?” Suaminya menjawab : “Tidak ada apa-apa. Aku melihat putraku berada dalam kedudukan ilu dan kehormatan yang tinggi, yang tidak kulihat pada orang lain”, tukasnya.

Di ujung kehidupan itu, Ummu Rabi’ah bertanya kepada suaminya, “Menurutmu manakah yang lebih engkau sukai, uang 30.000 dinar, atau ilmu dan kehormatan yang telah dicapai putramu?”. Farrukh menjawab : “Demi Allah, bahkan ini lebih aku sukai dari pada dunia dan seisinya”, ucapnya.

Begitulah kisah generasi Tabi’in yang penuh kemuliaan, dan peranan seorang ibu yang ditinggal oleh suaminya berjihad ke negeri yang sangat jauh, selama tiga puluh, dan dapat mendidik putranya menjadi seorang ulama besar dan memiliki ilmu dan kehormatan yaitu Ar-Rabi’ah. Wallahu’alam.

Read More......
Banner 250 x 200

About Me

Foto saya
Menyusuri Kehidupan Duniawi Ini… Terselip Satu Perjuangan Seorang Hamba… Menuju Ketenangan Yang Hakiki… Munajat Diri Mengejar Maghfirah… Mujahadah Dalam Mencari Keridhaan-Nya…

Labels

PESAN MORAL